Bentuk Seni Sastra Yang Berkembang di Indonesia
- Indonesia dikenal sangat kaya akan seni sastra, baik tulisan maupun
lisan. Hal ini karena Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang
masing-masing memiliki bahasa daerah masing-masing.
Seni sastra
lisan di Indonesia berkembang secara turun-temurun. Kebanyakan
bercirikan menggunakan bahasa yang panjang lebar, pola dan susunan
teksnya baku, serta ceritanya tersusun dari beragam peristiwa yang
benar-benar terjadi, dongeng khayalan atau teks keagamaan. Masing-masing
pencerita mempunyai keleluasaan di dalam menampilkan tradisi lisan.
Bentuk seni sastra lisan yang berkembang di Indonesia, antara lain:
1) Mitos atau Mite
Mitos
merupakan seni sastra bersifat religius, namun memberi rasio pada
kepercayaan dan praktik keagamaan. Masalah pokok yang diulas di dalam
mitos adalah masalah kehidupan manusia, asal mula manusia dan makhluk
hidup lain, sebab manusia di bumi, dan tujuan akhir hidup manusia.
Fungsi mitos yaitu memberi penjelasan tentang alam semesta dan
keteraturan hidup dan perilaku.
Mite yang hidup di Indonesia biasanya bercerita tentang proses terciptanya alam semesta (kosmogony), asal usul dan silsilah para dewa (theogony), pencitaan manusia pertama dan pembawa kebudayaan, asal usul makanan pokok (padi), dan sebagainya. Berikut salah satu mite yang hidup di Jawa. Konon, pada masa dahulu kala Pulau Jawa belum berpenghuni sehingga mudah terombang-ambing terkena ombak laut. Hanya Bathara Guru dan Bathari Parameswari yang berani menempatinya.
Maka, agar Pulau Jawa menjadi tenang, Bathara Guru memanggil para dewa untuk datang ke Jambudwipa. Intinya mereka diperintah untuk memindahkan Gunung Mahameru ke Pulau Jawa untuk dijadikan pasak. Para dewa pun bergotong royong mengangkat gunung tersebut. Bathara Wisnu berubah menjadi tali untuk mengikat dan Bathara Brahma menjadi kura-kura untuk kendaraannya.
Separuh gunung ditinggal dan puncaknya bisa sampai ke Jawa. Selama
perjalanan, ada bagian-bagian gunung yang jatuh dan membentuk Gunung Wilis, Gunung Kelud, serta Gunung Kawi. Puncaknya menjadi Gunung Semeru dan menjadi pusat dunia seperti Gunung Mahameru di Jambudwipa.

|
Rabab Pariaman (Minangkabau)
|
2) Legenda
Legenda
merupakan cerita yang bersifat semihistoris mengenai pahlawan,
terciptanya adat, perpindahan penduduk, dan selalu berisi percampuran
antara fakta dan supernatural. Legenda tidak banyak mengandung masalah,
namun lebih kompleks dari mitos. Fungsinya antara lain memberi
pelajaran, ajaran moral, meningkatkan rasa bangga terhadap suku bangsa
atau moyangnya. Suatu legenda yang lebih panjang berbentuk puisi atau
prosa ritmis dikenal dengan epik.
3) Epik
Epik
merupakan cerita lisan yang panjang, kadang-kadang dalam bentuk puisi
atau prosa ritmis yang menceritakan perbuatan-perbuatan besar dalam
kehidupan orang yang sebenarnya atau yang ada dalam legenda.
4) Dongeng
Dongeng
merupakan suatu cerita yang tidak nyata dan tidak historis yang
fungsinya untuk memberi hiburan dan memberi pelajaran atau nasihat.
Nah, kamu
telah mengetahui bentuk-bentuk seni sastra lisan di Indonesia. Berikut
ini adalah contoh-contoh seni sastra lisan yang hidup di Indonesia.
1) Pantun Sunda
Seni sastra
lisan ini merupakan penceritaan bersyair orang Sunda (Jawa Barat) dengan
diiringi oleh musik kecapi. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum atau
sesudah upacara tradisional misalnya pernikahan dan merupakan hiburan
tunggal. Juru pantun menyanyi sesuai irama kecapi yang ia petik dalam
skala pentatonik (lima nada). Kecapi Sunda itu biasanya berbentuk perahu
dengan 18 senar.
Pantun Sunda
biasanya berisi kisah cerita dari masa Kerajaan Hindu Pajajaran. Cerita
ditampilkan secara bersamaan antara percakapan dan nyanyian. Salah satu
pantun Sunda yang terkenal adalah Lutung Kasarung, syairnya terdiri
atas 1.000 baris dan berasal dari abad XV. Semula, tradisi ini
disampaikan oleh pendongeng profesional yang berkelana dari desa ke
desa. Maksudnya untuk mengajarkan kepercayaan agama, sejarah, mitologi,
sopan santun, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, tradisi ini berubah
menjadi cerita anak-anak.
2) Rabab Pariaman
Tradisi
pertunjukan lisan ini berasal dari Sumatra Barat. Tukang rabab
menyampaikan cerita dalam wujud nyanyian dengan ciri dialek Pariaman.
Tradisi ini biasa dipertunjukkan pada pesta perkawinan, perayaan nagari,
pesta pengangkatan penghulu, dan lain-lain. Cerita yang disampaikan
berisi perjuangan untuk mencapai keberhasilan hidup. Tokoh dalam cerita
itu menghadapi kesulitan dalam mencapai keberhasilan, kemudian mendapat
tanggapan dari penonton.
3) Makyong
Tradisi ini
semula berasal dari Pattani, Muangthai, namun berkembang ke selatan
hingga pesisir Melayu. Makyong merupakan pertunjukan teater di mana
unsur-unsur drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya tergabung menjadi
satu. Semula, tradisi ini dipertunjukkan di kalangan atas Istana
Kelantan dan Riau Lingga hingga tahun 1700-an. Fungsinya bukan untuk
menghibur tetapi penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sultan dan
istrinya dianggap wakil Tuhan, maka makyong dianggap persembahan kepada
Tuhan. Dalam perkembangannya, makyong berubah menjadi pertunjukan desa
sebagai hiburan atau upacara penyembuhan.
Kisah yang
dimainkan sebagian besar berasal dari warisan cerita-cerita istana
kerajaan Melayu, biasanya berbentuk prosa tanpa naskah. Makyong antara
lain terdiri atas punakawan (pengasuh) yang mengenakan topeng, wak
petanda (ahli pembintangan atau orang bijak), serta para pemain yang
semua diperankan oleh kaum perempuan. Salah satu kisah yang paling
disukai dalam tradisi makyong adalah dewa muda.
4) Wayang Kulit dan Wayang Beber
Tradisi ini
merupakan tradisi lisan yang lakonnya bersumber dari legenda serta kisah
lisan sastra tulis atas tradisi India dan Jawa. Wayang kulit dan wayang
beber bisa ditemukan di Jawa, Bali, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat.
Tradisi wayang berbentuk teater boneka dengan menggunakan layar (kelir),
gamelan, dan 400-an wayang. Hidup tidaknya pertunjukan ini ditentukan
oleh dalang, karena dialah yang menguasai pertunjukan.
Seni sastra tulisan Indonesia menurut periodisasinya digolongkan menjadi:
1) Pujangga Lama
Karya sastra
Pujangga Lama di Indonesia dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini
karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan
hikayat. Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang
mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri atas 4 baris, berirama aaaa,
keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun,
2 baris terakhir yang mengandung maksud). Pantun merupakan sejenis
puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak ab-ab atau aa-aa. Dua baris
pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora dan fauna).
Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun
tersebut.
Gurindam
adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat
dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris
kedua berisikan jawaban nya atau akibat dari masalah atau perjanjian
pada baris pertama tadi. Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa,
terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita,
dongeng, maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun
kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat
tokoh utama.
Beberapa karya sastra pada masa pujangga lama diantaranya Hikayat Abdullah, Hikayat Andaken Penurat, dan Hikayat Bayan Budiman.
2) Sastra Melayu Lama
Merupakan
karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870–1942, yang
berkembang di lingkungan masyarakat Sumatra seperti Langkat, Tapanuli,
Padang dan daerah Sumatra lainnya, Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya
sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair,
hikayat dan terjemahan novel barat.
Beberapa
contoh karya sastra Melayu lama yaitu Nyai Dasima oleh G. Francis
(Indo), Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhoda
Bontekoe, Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah Pelayaran ke
Makassar dan lain-lain
3) Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra
angkatan Balai Pustaka muncul di Indonesia sejak tahun 1920–1950, yang
dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita
pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun,
gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari
bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu rendah yang
banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi
politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu
bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda dan dalam jumlah
terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Contoh karya
sastra angkatan Balai Pustaka antara lain Azab dan Sengsara, Seorang
Gadis oleh Merari Siregar, Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis Sutan
Sati, dan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli.
4) Pujangga Baru
Pujangga
Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh
Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut,
terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan
kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual,
nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra modern Indonesia. Pada
masa itu, terbit pula majalah “Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di
Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930–1942), dipelopori oleh
Sutan Takdir Alisyahbana. Karya sastra Pujangga Baru di antaranya Layar
Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu oleh Armijn Pane.
Makna Pujangga atau Bujangga adalah pemimpin agama atau pendeta. Tetapi, makna pujangga dalam pujangga baru adalah ”pencipta”.
5) Angkatan ’45
Pengalaman
hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan
Angkatan ’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya
Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Misalnya, Surat Cinta
Enday Rasidin, Simphoni oleh Subagio Sastrowardojo, dan Balada Orang
orang Tercinta oleh W.S.Rendra.
6) Angkatan 66-70-an
Angkatan ini
ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Banyak karya sastra
pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastranya. Sastrawan
pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti
Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto,
Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hurip, Sutardji
Calzoum Bachri, dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B.Jassin.
Seorang
sastrawan pada angkatan 50–60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini
adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel,
cerpen dan drama kurang mendapat perhatian. Beberapa satrawan pada
angkatan ini antara lain Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta,
Arifin C Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Gunawan
Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Widjaya, Wisran Hadi, Wing
Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.
Karya Sastra
Angkatan ‘66 di antaranya Amuk, Kapak, Laut Belum Pasang, Meditasi,
Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Tergantung Pada Angin,
Dukamu Abadi, Aquarium, Mata Pisau dan Perahu Kertas.
7) Angkatan 80-an
Karya sastra
di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan
banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada
masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan
ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum. Beberapa
sastrawan yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain Remy
Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma,
dan Kurniawan Junaidi. Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80 antara lain
Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, Sajak Sikat Gigi, Arjuna
Mencari Cinta, Manusia Kamar, dan Karmila.
8) Angkatan 2000-an
Sastrawan
angkatan 2000 mulai merefleksikan keadaan sosial dan politik yang
terjadi pada akhir tahun 90-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak
melatarbelakangi kisah novel fiksi. Apakah kamu mengenal Ayu Utami
dengan karyanya Saman? Sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di
New York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia
setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan
vulgar, itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang
lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar